BAB III
Perekonomian Indonesia di Era Reformasi
Disusun :
KELOMPOK 9
KELOMPOK 9
§ Diana
Aprianti 22211042
§ Linda
Rustiani 24211109
§ Taruli
Gultoem 28211268
§ Yenni
Valentine 27211505
1EB22
Kalimalang
April 2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik
dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar
benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan
Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia,
melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai
juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan
Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan
Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di
masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat
kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat
besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia
Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para
bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada
proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh
banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan
uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun
pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya
picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas,
karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional.
Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan
ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu
negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya
pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di
Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber
dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang
cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan,
pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian
Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Seusai masa
kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat
dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru,
dan masa reformasi.
B.
Tujuan
Penulisan
Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk menambah wawasan masyarakat dalam memahami bagaimana
perekonomian Indonesia dari tahun ke tahun khususnya di era Reformasi.
Tujuan lain
dari penulisan ini juga untuk memenuhi tugas berupa tulisan mata kuliah
Perekonomian Indonesia yang adaptif terhadap softskill.
C.
Rumusan
Masalah
- . Bagaimana sejarah perekonomian Indonesia di era Reformasi?
- .. Bagaimana keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa kepemimpinan B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono?
- Seperti apa kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia di era Reformasi?
BAB
II
ISI
A.
Pemerintahan
Transisi
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia
melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap
pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi
besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah
Indonesia.
Mahasiswa
menduduki Gedung DPR/MPR
Pemerintahan
Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian
memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas
hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar
negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Pemerintahan
transisi merupakan peralihan antara pemerintahan zaman Soeharto ke pemerintahan
B.J. Habibie.
Keadaan
sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik
sebagai berikut:
- Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp. 2.500 menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak stabil.
- Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisis ekonomi yang kemudian memunculkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
- Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.
B.
Pemerintahan
Reformasi
Pada
masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun
juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1.
Masa
Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada
awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan
dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional
dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde
baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi
manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam
politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa pemerintahan Habibie
ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk
membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan
pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Di bidang
ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar
antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama
setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada
level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era
pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank
Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis
moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah
sebagai berikut :
- Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
- Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
- Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
- Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
- Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
- Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat
- Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik.
2.
Masa
Kepemimpinan K.H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam
hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB
mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir
mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI)
juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai
stabil.
Akan
tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat
tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan
ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden
cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif,
bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan
reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya pemerintahan reformasi, tetapi
tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden tersebut juga
menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya
adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan
II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari
jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada
bulan Agustus 2001.
Selama
pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa
disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik
Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh
semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi
perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain
itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai
Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah
untuk pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda
pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda
pencairan bantuannya kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian
nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia
terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris
Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia
dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan
pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya
yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia
juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF
dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan
politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk
Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah
Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di
Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan
reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moody’s
Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro
mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial,
lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan prospek
jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau
kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi
Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya,
bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang
sungguh-sungguh (political will)
untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung
menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya
terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi
fiskal, restrukturisasi utang, dan
divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang
controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah
untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak
atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil
perekonomian negara saat ini.
Fenomena
makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8
Maret 2001 menunjukkan growth trend
yang negatif. Dalam perkataan lain,
selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan
oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam
perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak
percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian
Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah
sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat
berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat
usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya
terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis
pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor,
baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun
barang-barang konsumsi. Kedua, utang
luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta
maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang
diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada minggu
terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman
keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
- Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
- Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
- Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada
masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN,
pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat
skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
3. Masa Kepemimpinan Megawati
Soekarnoputri
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami
masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
- Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
- Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Meski
ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah
yang lebih stabil, namun Indonesia pada
masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam
bidang-bidang lain.
4. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK) =
(2004-2009)
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain itu, pada periode ini pemerintah
melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi
masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya,
program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih
banyak kekurangan
disana-sini.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal
ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit
perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif.
Namun, selama
masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa
keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun
2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun
2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY
yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari
pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang
memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu
saja banyak membuka lapangan kerja baru.
Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan
pembangunannya berupa master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3 EI). Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan
dapat menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan
pendapatan perkapita antara UsS 14.250-USS 15.500, dengan nilai total
perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5 triliun.
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (Era SBY–BOEDIONO)
= (2009-2014)
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank
Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional negara yaitu :
1. BI rate
2.
Nilai tukar
3.
Operasi moneter
4. Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial
lalu lintas modal.
Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada
meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hampir tujuh tahun
sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan selama itu pula
perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa keemasannya.
Beberapa pengamat ekonomi bahkan berpendapat kekuatan ekonomi Indonesia
sekarang pantas disejajarkan dengan 4 raksasa kekuatan baru perekonomian dunia
yang terkenal dengan nama BIRC (Brazil, Rusia, India, dan China).
Krisis global
yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan perekonomian
Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika Serikat dan Jepang
berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang positif sebesar
4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya
fondasi perekonomian Indonesia direspon dunia internasional dengan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya
yang sangat terasa adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor
tertingginya sepanjang sejarah dengan berhasil menembus angka 3.800. Bahkan
banyak pengamat yang meramalkan sampai akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus
level 4000.
Indonesia
saat ini menjadi ekonomi nomor 17 terbesar di dunia. “Tujuan kami adalah untuk
menduduki 10 besar. Kami sangat optimistis karena IMF pun memprediksi ekonomi
Indonesia akan mengalahkan Australia dalam waktu kurang dari satu dekade ke
depan," tutur SBY dalam sebuah acara.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada masa reformasi ini
perekonomian Indonesia ditandai dengan adanya krisis moneter yang
berlanjut menjadi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum menunjukkan
tanda-tanda ke arah pemulihan. Walaupun ada pertumbuhan ekonomi sekitar 6%
untuk tahun 1997 dan 5,5% untuk tahun 1998 dimana inflasi sudah diperhitungkan
namun laju inflasi masih cukup tinggi yaitu sekitar 100%. Pada tahun 1998
hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan negatif, hal ini berbeda dengan
kondisi ekonomi tahun 1999.
Namun sejak
masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, perekonomian Indonesia mulai
membaik. Perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa
keemasannya. Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan
ketangguhan perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti
Amerika Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak
pertumbuhan yang positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Pembangunan
di era Reformasi ini merupakan suatu bentuk perbaikan di segala bidang sehingga
belum menemukan suatu arah yang jelas. Pembangunan masih tarik-menarik mana
yang harus didahulukan. Namun setidaknya reformasi telah membawa Indonesia untuk
menjadi lebih baik dalam merubah nasibnya tanpa harus semakin terjerumus dalam
kebobrokan moral manusia-manusia sebelumnya.
B.
Kritik
dan Saran
Keberhasilan pembangunan ekonomi dan
politik yang dibanggakan selama ini hanyalah merupakan keberhasilan semu yang
tidak memiliki fondasi yang kuat untuk keberkelanjutannya. Kebanggaan atas
perkembangan ekonomi Indonesia yang selama dekade yang lalu mencapai rata-rata
7% per tahun, ternyata tidak mampu bertahan oleh serangan badai krisis. Krisis
moneter yang terjadi telah menolak hipotesis bahwa sistem moneter Indonesia
adalah kuat dan berdiri di atas parameter ekonomi makro yang sehat. Krisis
ekonomi telah menolak hipotesis bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat dan
memikul beban pertumbuhan yang tinggi disertai dengan pemerataan yang seimbang.
Pada kenyataannya, diperkirakan 80% kegiatan ekonomi Indonesia hanya dinikmati
oleh 17-20% penduduk Indonesia, suatu kenyataan yang sangat rawan bagi
kestabilan nasional yang telah dibangun oleh rejim orde baru.
Mungkin
dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam
mewujudkan Indonesia bebas dari kemiskinan. Harga diri bangsa Indonesia adalah
mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu
kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi
kesejahteraan masyarakat umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Tulus T.H.
Tambunan, Perekonomian Indonesia Teori
dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001.
http://beritadaerah.com/journal/success/21941
http://id.wikipedia.org/wiki/Bacharuddin_Jusuf_Habibie
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1998-sekarang)
http://kupastuntasmanajemen.blogspot.com/2009/10/perekonomian-indonesia-di-era-reformasi.html
http://putrimarchela.blogspot.com/2011/03/sejarah-ekonomi-indonesia-sejak-orde.html
https://syafaatmuhari.wordpress.com/2011/08/13/sejarah-perekonomian-indonesia-sejak-orde-lama-hingga-reformasi/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/sejarah-ekonomi-indonesia-orde-lama-era-reformasi-2/
No comments:
Post a Comment